Motorcycles burn following a blast at the Pentecost Church Central Surabaya (GPPS), in Surabaya, East Java, Indonesia May 13, 2018, in this photo provided by Antara Foto.  Antara Foto/ Handout Surabaya Government/ via REUTERS
Motorcycles burn following a blast at the Pentecost Church Central Surabaya (GPPS), in Surabaya, East Java, Indonesia May 13, 2018, in this photo provided by Antara Foto. Antara Foto/ Handout Surabaya Government/ via REUTERS

Tidak banyak negara lain yang tahu bahwa Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar didunia, bukanlah sebuah negara agama yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum berbangsa dan bernegara.

Secara hukum, Indonesia adalah sebuah negara dengan toleransi antar agama yang mengakui enam institusi keagamaan: Buddha, Hindu, Islam, Konghucu, Katolik dan Protestan.

Toleransi antar-agama ini telah menjadi kunci yang penting dalam kestabilan ranah politik di negara dengan populasi 240 juta jiwa yang kebanyakan berpihak pada nasionalisme dibandingkan fanatisme agama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang kaya dengan keragaman baik secara geografis dan sosiologis tersebut.

Sekalipun negara kepulauan ini telah beberapa kali dalam sejarah mengalami pertikaian berdarah antar agama, partai-partai politik berpaham Islam radikal tidak pernah menang telak dalam perpolitikan di Indonesia.

Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia telah menyaksikan beberapa aksi teror oleh sejumlah kelompok radikal yang berafiliasi dengan kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam (ISIS), yang adalah sebuah organisasi teroris dengan paham Salafi/Wahhabi, yang mulai dikenal kebengisannya semenjak tahun 2014 saat mereka berhasil menduduki kota dengan populasi mayoritas Kristen Mosul dan Sinjar di Iraq.

ISIS, yang menghendaki terbentuknya sebuah khilafah global, saat ini telah hancur oleh kekuatan militer di tempat asalnya sendiri di Timur Tengah, namun mereka tampaknya telah berhasil membangun hubungan dengan beberapa kelompok radikal di Indonesia.

Beberapa ahli dalam bidang perlawanan terhadap terorisme mengatakan bahwa ISIS tampaknya mulai menjadi sebuah tantangan yang berbahaya bagi kedaulatan perpolitikan di sejumlah negara Asia Tenggara.

Buktinya? Didudukinya kota Marawi di Mindanao, selatan Filipin oleh teroris tahun lalu, serta beberapa serangan aksi teroris di beberapa kota di Indonesia dalam dua minggu belakangan ini. Kerjasama keamanan yang lebih dekat dan ketat antara negara-negara di Asia Tenggara merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diadakan secepatnya.

Untuk Indonesia sendiri, ISIS bukan saja sebuah ancaman politik, melainkan juga ancaman budaya. Sekalipun banyak penduduk Indonesia yang beragama Islam, secara budaya, mereka lebih dekat dengan budaya Hindu, contohnya terlihat lewat nama-nama yang dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta.

Keragaman didalam identitas nasional Indonesia inilah yang menjadi sebuah alasan mengapa pengaruh ISIS di negara tersebut masih terbatas. Namun ancaman dari ISIS ini tidak bisa diremehkan.

Presiden RI Joko Widodo perlu meninjau kembali UU Anti Terorisme Tahun 2003 untuk mengotorisasi kepolisian dalam penangkapan, pemeriksaan dan penginterogasian tersangka teroris tanpa halangan apapun.

WNI yang hendak ke luar negeri untuk bergabung dengan berbagai macam pemberontakan keagamaan melawan pemerintahan sekuler harus dihentikan.

Presiden Filipin Rodrigo Duterte telah berhasil mengalahkan ISIS di negaranya. Sekarang adalah giliran Presiden Jokowi untuk melangkah maju.

Original: Islamic State in Indonesia: National identify trumps religious creed