Members of Islamic Defenders Front (PFI) shout slogan during a an anti-communism campaign in Jakarta, Indonesia, on June 03, 2016. Photo: NurPhoto via Reuters/ Agoes Rudianto
Members of Islamic Defenders Front (PFI) shout slogan during a an anti-communism campaign in Jakarta, Indonesia, on June 03, 2016. Photo: NurPhoto/ Agoes Rudianto

Sudah lebih dari setengah abad semenjak militer Indonesia bersama dengan kelompok-kelompok Muslim sekutu mereka menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pembantaian yang dipercayai telah menewaskan sekitar 500.000 jiwa, yang kebanyakan diduga sebagai korban yang sebenarnya tidak bersalah namun menjadi target dendam pribadi.

Namun tampaknya dalam beberapa minggu belakangan ini, TNI telah bergabung bersama dengan Kantor Kejaksaan Agung dan Polri dalam sebuah kampanye nasional yang legalitasnya diragukan, dimana kembali dilakukan penyitaan buku-buku dan tulisan akademis yang berhubungan dengan komunisme dan pembersihan paham tersebut pada tahun 1965-66.

Momok paham komunis ini masih menyulut ketakutan di seluruh penjuru negeri yang pernah menjadi tempat beradanya partai komunis non-penguasa terbesar di dunia, yang dipercayai hampir mengubah Indonesia menjadi negara berpaham Marxis-Leninis.

Pertumpahan darah anti-komunis yang terjadi lebih dari setengah abad lalu memang berhasil mencegah terjadinya hal tersebut, namun setiap kali aktivis politik berusaha menggali atau mencoba memperbaiki fakta sejarah pada masa itu, pihak militer dan Muslim konservatif dengan cepat menyalakan kembali fobia yang masih dapat dirasakan di banyak daerah pedesaan di Indonesia.

Elemen sayap kanan sangat marah dengan dirilisnya pada akhir 2012 sebuah film dokumenter pemenang penghargaan yang berjudul The Act of Killing, karya pembuat film Amerika, Joshua Oppenheimer, yang menyoroti wawancara dengan beberapa pembantai dari pertumpahan darah yang sudah hampir tidak diketahui sama sekali oleh generasi muda di Indonesia.

Razia anti-komunis ini terjadi hanya tiga tahun setelah terjadinya tindakan keras serupa, dimana dua orang ditangkap karena mengenakan pakaian bertulisan PKI, yang ternyata merupakan singkatan dari Pecinta Kopi Indonesia.

Penggerebekan yang dilakukan di Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Kalimantan Utara dan bahkan telah menjalar ke berbagai tempat lainnya, telah menyita buku-buku seperti Red Coat, Lenin, Hunting Down Sukarno dan judul-judul lainnya yang berhubungan dengan G-30S-PKI, sebuah usaha kudeta yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, yang diilhami pihak komunis saat itu, namun berhasil digagalkan.

Paham komunis merupakan paham yang dilarang secara hukum di Indonesia, namun razia buku hanya dapat dilakukan oleh jaksa penuntut yang bertindak berdasarkan perintah pengadilan. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pelarangan atau penyitaan buku harus mengikuti hasil proses hukum sebelumnya.

Menteri garis keras Ryamizard Ryacudu, seorang mantan kepala staf angkatan darat yang sekarang menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI, telah mendukung razia keras tersebut dan mengklaim bahwa hal itu akan mencegah sisa-sisa PKI dari membalas dendam atas peristiwa 1965. “Itu sama dengan radikalisme,” katanya, sebelum kemudian menegaskan, “Itu berbahaya bagi negara ini.”

Original: Red scare discolors Indonesia’s campaign trail

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *