Ketika pihak yang berwenang di Indonesia menyita sebuah kapal memancing ikan yang membawa jaring ikan ilegal sepanjang 30 kilometer pada bulan April tahun lalu, mereka pada dasarnya telah menangkap hantu.
Kapal bernama STS-50 tersebut dimasa lalu telah dikenal dengan beberapa nama lainnya – diantaranya Sea Breeze, Andrey Dolgov, STD No. 2 dan Aida – dan telah mengibarkan delapan bendera negara yang berbeda-beda dalam kesempatan yang berbeda. Karena ini pula lah kapal tersebut pernah ditahan oleh pihak yang berwenang dataran Tiongkok, namun kapal itu berhasil kabur. Setelah itu, kapal tersebut kemudian sempat ditahan di Mozambik namun juga berhasil lolos dari sana.
Terdaftarnya kapal itu di Lloyd’s List Intelligence, yaitu semacam Facebook bagi kapal-kapal komersial, juga menunjukkan sebuah jaringan perusahaan yang begitu rumit dan membingungkan, dengan beberapa diantara perusahan-perusahaan tersebut terdaftar di luar negeri di negara-negara bebas pajak, yang membuat kepemilikan dari kapal tersebut hampir mustahil untuk ditentukan.
Daftar yang dimaksud mengidentifikasikan Marine Fisheries Corporation Co. Ltd. sebagai pemilik yang terdaftar dari kapal yang dimaksud, sementara Jiho Shipping Company Ltd. terdaftar sebagai pemilik keuntungan dari kapal tersebut. Perusahaan lainnya yang pernah terdaftar sebagai pemilik kapal itu termasuk Red Star Company Ltd., Dongwon Industries Company Ltd., STD Fisheries Company Ltd. dan Suntai International Fishing Company.
Pertanggungjawaban atas kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan kapal itu pun akhirnya hanya dapat dijatuhkan kepada sang kapten asal Rusia, yang didenda oleh pengadilan di Indonesia dengan nilai kurang dari US$14.000.
Kasus STS-50 merupakan simbol dari hambatan utama dalam perjuangan Indonesia yang kuat terhadap penangkapan ikan ilegal yang tidak dilaporkan dan tidak diatur, dimana secara internasional dikenal sebagai IUU, demikian ungkap Susi Pudjiastuti, sang menteri kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat disegani.
“Sampai hari ini, kita masih tidak dapat menargetkan pemiliknya,” menteri Susi berkata baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di kantornya di Jakarta. “Pemilik keuntungan kapal tersebut tidak jelas, jadi sulit bagi kami untuk melacak mereka.”
Dengan STS-50 sendiri, dia menambahkan, nama kapal itu pun terus berganti, bersama dengan bermacam-macam bendera yang dipakainya untuk berlayar.
Sementar itu, sang menteri telah menjalankan sebuah program penegakan peraturan perikanan yang begitu ketat semenjak dia mulai menjabat pada akhir 2014. Program ini termasuk menyita dan meledakkan kapal ikan ilegal, melarang transfer ikan di laut, memberlakukan moratorium ijin untuk kapal asing, dan melarang penggunaan jaring pukat.
Susi Pudjiastuti sendiri telah menghadiri penenggelaman beberapa dari 488 kapal bermasalah di perairan Indonesia sejak Oktober 2014, kebanyakan dari mereka berbendera dan berkepemilikan asing, yang membuat ketegasan sang menteri semakin dikenal banyak pihak.