Sekitar seperempat dari 49 juta hektar lahan pertanian Indonesia telah dijadikan perkebunan kelapa sawit, yang tahun lalu telah menghasilkan bagi Indonesia pemasukan sebesar US$22.9 milyar, rekor terbesar dari penjualan minyak kelapa sawit selama ini. Ini cukup menjelaskan mengapa pemerintah Indonesia bereaksi sangat keras terhadap keputusan Uni Eropa baru-baru ini yang membatasi impor minyak sayur berharga ini di wilayah mereka.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, keduanya telah meminta Uni Eropa untuk tidak mendiskriminasikan minyak kelapa sawit, dengan sang wakil presiden khususnya dikabarkan telah mengisyaratkan perang dagang balas dendam yang dapat dilakukan terhadap Airbus, perusahaan pembuat pesawat milik Perancis, yang saat ini memiliki 112 pesawat jet beroperasi di wilayah Indonesia, ditambah dengan pesanan lebih dari 300 pesawat untuk beberapa maskapai penerbangan Indonesia.
Parlemen Uni Eropa meloloskan undang-undang pada Januari lalu yang menetapkan tahun 2020 sebagai batas waktu untuk melarang semua impor minyak kelapa sawit mentah Uni Eropa yang ditujukan untuk diubah menjadi bahan bakar hayati, berjumlah 40 persen dari 4,2 juta ton yang diekspor ke 28 negara anggota Uni Eropa tahun lalu.
Dengan 36,5 juta ton yang dibuat tahun lalu, Indonesia sejauh ini adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Namun bagi para pencinta lingkungan, kenaikan tajam dari 8,3 juta ton yang dipanen pada tahun 2001 telah dihasilkan dengan harga yang mahal, yaitu hilangnya hutan hujan dan lahan gambut yang rusak pada wilayah yang luas di pulau Sumatra dan Kalimantan.
Perkebunan kelapa sawit sekarang mencakup 11,9 juta hektar, lebih dari dua kali lipat jumlah lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 ketika produksi dipercepat sebagai respon terhadap meningkatnya permintaan akan bahan bakar hayati.
Berbicara harga, kelapa sawit mungkin merupakan tanaman paling efisien untuk digunakan dalam produksi biodiesel, tetapi para petani bahkan mengatakan ini hanya masuk akal ketika minyak mentah berharga lebih dari US$70 per barel – dimana baru sekarang terjadi untuk pertama kalinya dalam empat tahun.
Uni Eropa, sebenarnya, hanya menyumbang 14 persen dari total ekspor Indonesia tahun lalu, yaitu sebesar 29 juta ton, jauh di bawah 65 persen yang masuk ke pasaran Asia lainnya. Namun sekalipun larangan Uni Eropa ini hanya berlaku dalam hal bahan bakar hayati, Indonesia tetap mencemaskan irisan tipis ini.