Para pekerja rumah tangga asal Indonesia yang pernah mengalami penganiayaan atau pelecehan dalam bentuk apapun selama bekerja di Hong Kong telah berjanji untuk bersama-sama mendukung sesama pekerja rumah tangga untuk saling melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja migran.
Nanie, 34, yang dipekerjakan oleh seorang majikan laki-laki 10 tahun yang lalu, mengatakan bahwa majikannya sering telat membayar gajinya dan tidak membayar ganti saat uang pribadinya terpakai untuk membeli makanan untuk majikannya, situs berita HK01.com melaporkan.
Nanie menegaskan bahwa terkadang dia perlu membeli makanan untuk anak perempuan majikan yang dijaganya dengan menggunakan uang pribadi.
Nanie akhirnya meninggalkan keluarga tersebut dan mengajukan tuntutan lewat sebuah pengadilan di Hong Kong. Dia pun mendapatkan kembali seluruh gaji yang masih belum dibayar lunas oleh majikannya.
Muna, 25, mengatakan dia telah dianiaya secara fisik oleh majikan perempuannya. Majikan tersebut mencakar lehernya, menyakiti lengannya dan memaksanya untuk menyentuh wajan panas diatas kompor yang sedang menyala. Dia juga hanya mendapatkan empat jam istirahat di hari liburnya dan tidak diijinkan keluar rumah.
Gajinya pun biasanya dipotong beberapa ratus dollar Hong Kong sebagai “ganti rugi” karena menurut majikannya dia telah melakukan beberapa kesalahan.
Majikan Muna juga menuduhnya mencuri, dan disaat yang bersamaan, Munapun akhirnya menuntut majikannya atas dasar penganiayaan dan gaji yang tidak dibayar. Kasus Muna sementara masih dalam pemeriksaan.
Tuntutan pelecehan yang diklaim oleh Nanie dan Muna bisa jadi hanya puncak dari sebuah gunung es yang mana masih banyak kasus lainnya yang tidak terlihat atau terlewatkan.
Pada tahun 2015 dan 2016, tercatat sebanyak 145 kasus yang bersangkutan dengan perkara pelecehan serius terhadap pekerja rumah tangga, 48 diantaranya dengan majikan sendiri sebagai pelaku pelecehan yang dimaksud, menurut data resmi dari badan keamanan pemerintah Hong Kong.
Departemen Tenaga Kerja mencatat sebanyak 733 kasus gaji yang tidak dibayar yang diajukan oleh pekerja rumah tangga dari tahun 2014 sampai 2016 – sebanyak 70% dari kasus pelanggaran pembayaran upah ini berhasil diselesaikan lewat mediasi.
Masalah lain yang dihadapi oleh para pekerja rumah tangga yang dilecehkan adalah saat mereka meninggalkan majikan mereka yang melecehkan, mereka harus tinggal di Hong Kong dan menunggu pemeriksaan polisi atau persidangan, sementara saat menunggu tersebut mereka berada dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan dan dukungan keuangan lainnya.
Dengan tidak adanya dukungan keuangan, banyak pekerja rumah tangga korban pelecehan akhirnya bernaung di Rumah Perlindungan Pekerja Migran Wanita Bethune, sebuah tempat penampungan sementara untuk pekerja rumah tangga yang membutuhkan.
Nanie dan Muna mengatakan bahwa mereka baru mempelajari hak-hak mereka saat tinggal di Rumah Perlindungan Bethune, dan sekarang mereka membagikan pengalaman mereka, serta memberitahukan pekerja rumah tangga bermasalah lainnya apa yang harus dilakukan dan bagaimana.
Sekarang Nanie merupakan wakil-ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hong Kong, sebuah asosiasi yang dimulai oleh beberapa pekerja rumah tangga yang pernah berlindung di Rumah Bethune.
Asosiasi ini dapat ditemui di Victoria Park, Causeway Bay setiap hari libur bagi para pekerja migran untuk mempromosikan hak-hak pekerja rumah tangga.
Mereka berharap seluruh pekerja migran di Hong Kong dapat lebih mengerti hak-hak mereka dan menjaga diri baik-baik sehingga mereka tidak sampai menderita oleh karena pelecehan baik dalam bentuk fisik atau non fisik.
Dibentuk pada tahun 1986, Rumah Perlindungan Pekerja Migran Wanita Bethune adalah sebuah lembaga amal yang resmi terdaftar di pemerintah dan memberikan bantuan serta konseling kepada pekerja migran yang membutuhkannya.
Sayangnya lembaga ini telah beberapa waktu mengalami kesulitan keuangan untuk beroperasi dan awal tahun ini mereka pun mencoba melakukan penggalangan dana kerumunan.