Photo: iStock
Photo: iStock

“Kalau anda bukan seorang pelaut,” tanya petugas imigrasi Vietnam itu kembali, dalam bahasa Perancis yang buruk namun masih lebih baik dari saya sendiri, “mengapa anda memiliki visa pelaut?” Saya sedang berada dalam sebuah kantor imigrasi militer di pusat kota Hanoi. Saya tidak memiliki asuransi perjalanan yang dapat menolong saya. Dan sekarang saya tidak memegang paspor saya. Pria yang sedang menginterogasi saya yang sekarang memegang paspor saya. Dia bertanya kembali.

“Kalau anda bukan seorang pelaut, mengapa anda memiliki visa pelaut.”

Pada hari itu ada banyak orang – orang-orang Vietnam yang berbeda-beda dalam berbagai macam seragam – yang bertanya apakah saya seorang pelaut. Saya bukan pelaut.

Namun tampaknya sekarang saya memiliki visa pelaut dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana ini bisa terjadi sangatlah sulit. Visa tersebut diberikan kepada saya oleh seorang petugas imigrasi Vietnam yang sangat berbeda. Petugas imigrasi Vietnam ini berada dalam keadaan sangat mabuk sampai dia tidak dapat duduk dengan benar di kursi nya.

Petugas imigrasi Vietnam yang sekarang ada di depan saya tidak terhibur. Jelas sekali bahwa dia tidak percaya dengan cerita saya.

Sekitar 48 jam yang lalu saya sampai di negara tersebut. Saya datang dengan menumpangi sebuah kapal pesiar dari Hong Kong ke Teluk Halong. Kapal tersebut memiliki jadwal berlabuh selama sehari di lokasi yang sangat terkenal di kalangan wisatawan mancanegara ini, sebelum melanjutkan perjalanan di pesisir pantai Vietnam dan kemudian kembali ke daerah pesisir selatan Tiongkok. Namun ketika saya membeli tiket saya berkata bahwa saya hendak turun di Teluk Halong untuk melanjutkan perjalanan saya sendiri ke Hanoi, sebelum terus menuju ke dataran Tiongkok melewati jalur kereta yang bernama “Reunifikasi Ekspres”.

“Sebuah ide yang bagus,” demikian ungkap wanita yang menjual tiket. Masalahnya, ketika saya telah berada di kapal dan kapal tersebut mulai menuju Vietnam, kru kapal berkata bahwa rencana saya tidaklah mungkin dilakukan. Peraturan imigrasi Vietnam sangat ketat dan rencana saya tidak akan diijinkan. Saya tetap harus meninggalkan Vietnam dengan menumpangi kapal yang sama sebagaimana saya datang ke negara tersebut. Namun saya bersikeras. Kru kapal pun sampai merasa begitu terganggu. Ketika kami sampai di perairan Vietnam, saya pun dibawa ke dalam ruang rapat kapal, dimana saya melihat sekitar 20 atau lebih petugas imigrasi Vietnam, semuanya dalam seragam berwarna hijau zaitun lengkap dengan bintang berwarna merah di kerah mereka, dan mereka sedang duduk disekitar sebuah meja besar sementara membubuhkan cap pada ratusan atau ribuan paspor kepunyaan para wisatawan yang hendak berjalan-jalan di sekitar Teluk Halong.

Kru kapal memberitahukan kepada saya bahwa itu semua adalah ritual rutin. Para petugas datang ke kapal pesiar dengan menggunakan kapal kecil pada sekitar subuh dan mereka akan menggunakan waktu selama beberapa jam untuk membubuhkan cap pada paspor-paspor wisatawan di kapal pesiar tersebut. Dan untuk melakukan tugas yang berulang-ulang ini, mereka pun meminta kapal pesiar untuk menyiapkan makan pagi. Bersama dengan minuman. Yaitu berbotol-botol Brandy.

Saya berjalan ke tengah tempat tersebut dan seorang pria yang terlihat jelas sebagai pemimpin dari kru pembubuh cap memanggil saya dengan antusias dan mengajak saya untuk duduk di samping nya. Dia kemudian menuangkan saya segelas brandy – sekarang sudah pukul 7:30 pagi jadi saya terima – dan menanyakan dari mana saya berasal dan tim sepak bola mana yang saya dukung. Kami pun minum, bercanda bersama mengenai sepak bola dan begitu banyak tertawa. Dan, setelah beberapa waktu, saya pun bertanya apakah boleh saya meminta sebuah visa yang mengijinkan saya untuk melanjutkan perjalanan saya sendiri di Vietnam.

Dengan banyak lambaian tangan dan dua tuangan banyak dari botol brandy, dia pun menghentikan pertayaan saya seakan-akan itu adalah sebuah formalitas yang bodoh dan membosankan, serta merogoh kedalam tas besar berwarna hitam miliknya.

Teman baru saya tersebut mengeluarkan sebuah mesin besar yang dia gunakan untuk memberikan saya sebuah cap visa yang besar dan memukau dengan hiasan yang indah. Keren, saya berpikir, sementara kami berdua mengagumi hasil pekerjaan nya. Kami pun tertawa lebih lagi, bersalaman layaknya saudara yang berpisah dan saya pun pergi meninggalkan para petugas imigrasi yang sedang makan pagi, menuju ke tempat menunggu peluncuran yang akan membawa saya masuk ke Vietnam.

Saya bersemangat untuk petualangan yang menantikan di depan saya. Dan saya kira memang seharusnya demikian. Tanpa sepengetahuan saya, teman pecinta Brandy tadi telah memberikan saya sebuah visa militer. Saya telah bergabung dengan angkatan laut.

Saya dengar sekarang telah berubah namun saat itu Vietnam memiliki peraturan yang aneh dimana wisatawan harus meninggalkan negara tersebut dari tempat yang sama ketika mereka masuk. Kalau anda ingin mengubah kondisi visa tersebut, maka itu harus dilakukan di tempat anda sampai di Vietnam. Saya baru mengetahui hal ini ketika mencoba membeli tiket ke dataran Tiongkok di stasiun kereta Hanoi. “Apakah anda seorang pelaut?” begitulah pertanyaan penjual tiket dengan penuh rasa ingin tahu setelah dia memeriksa paspor saya. Dia pun menggelengkan kepalanya. Saya berusaha menghentikannya menyampaikan sesuatu hal pada saya.

“Tolong,” saya berkata, “biarkan saya membeli tiket saya.” Saya tertawa, saya tersenyum, saya mencoba terlihat cemas. Dan seterusnya. “Tidak,” jawabnya terus-menerus sebelum dia mengarahkan saya kepada sebuah kantor polisi yang ukurannya cukup kecil dan terletak di luar stasiun tersebut. Dan sudah tidak mengagetkan lagi tentang apa yang ditanya polisi disana kepada saya.

“Bukan, saya bukan pelaut,” saya berkata, sementara polisi pria tersebut membuka halaman demi halaman paspor saya beberapa kali dan memperhatikan saya dengan penuh kecurigaan. Ketika dia menyuruh saya untuk mendatangi kantor imigrasi pusat di kota itu, saya pun pergi tanpa keluhan. Namun saat saya dalam perjalanan ke kantor yang dimaksud dengan membonceng sebuah ojek melalui jalan-jalan yang ramai, saya mulai cemas. Apa yang sedang terjadi?

Saya akan segera mengetahuinya.

“Dari mana anda mendapatkan ini?” tanya pria muda yang berada di belakang bilik imigrasi khusus wisatawan dengan keramahtamahan yang sangat jelas disertai dengan sebuah keprihatinan. Dia kembali melihat halaman paspor yang baru saja dibubuhi cap tersebut. “Saya tidak pernah melihat hal seperti ini,” katanya, menggelengkan kepala. Saya pun menceritakan semuanya – tentang kapal pesiar, brandy, teman baru saya – dan pria tersebut malah terus menggelengkan kepala nya. Sebenarnya dia sempat meringis pada bagian brandy.

Kantornya memiliki otoritas, dengan sebuah biaya administrasi, untuk mengganti cap keluar di paspor tersebut, petugas pria tersebut menjelaskan namun “sama sekali tidak ada kemungkinan kami dapat menyentuh ini.” Dan dia memberikan kepada saya alamat imigrasi militer.

Gedung imigrasi militer Hanoi, seperti dapat dibayangkan, angker dan serius. Dan hanya perlu beberapa menit saja untuk membuat sebuah kesalahan.

Kereta Reunifikasi Ekspress saya ke dataran Tiongkok hanya ada seminggu sekali dan dijadwalkan meninggalkan Vietnam esok hari. Saya pun mulai secara perlahan menjelaskan cerita saya kepada petugas imigrasi militer dan berkata, dengan sopan saya percaya, bahwa saya membutuhkan agar visa saya diubah sebelum kereta saya berangkat pada hari berikutnya. Petugas itu pun memotong saya dan berkata bahwa tidak mungkin saya mendapatkan visa tersebut apabila saya bukanlah seorang pelaut.

“Mengapa anda memiliki visa pelaut?” dia bertanya. Ya, tentunya saya cemas.

Dia kemudian berkata, tanpa ekspresi, bahwa saya harus kembali ke kantor angkatan laut Halong Bay, sekitar 150 kilometer dari Hanoi, untuk menyelesaikan masalah visa tersebut.

Lalu, apa yang saya lakukan?

Saya memakinya. Tidak secara keras. Bahkan benar-benar pelan. Sebenarnya saya rasa makian saya hampir tidak bersuara. Dan dalam bahasa Inggris, yang mana dia telah jelas menunjukkan bahwa dia tidak mengerti. Namun petugas imigrasi Vietnam ini mendengarnya. Dan dia memiliki paspor saya. Dan dia memiliki kata “militer” dalam jabatan pekerjaan nya.

Dia berkata kembali. “Kalau anda bukan seorang pelaut, mengapa anda memiliki visa pelaut.” Namun sekarang, ini telah menjadi sebuah tuntutan. Saya berkata maaf, saya terlihat takut – saya sungguh takut – dan saya memintanya untuk memberikan saya waktu beberapa jam. Saya pun kembali ke penyelamat saya di kantor imigrasi biasa dan memintanya untuk menuliskan untuk saya sebuah surat. Dia menghela nafas. Saya memohon kepadanya untuk menuliskan sebuah surat bagi saya. Dan dia pun melakukannya. Dia menuliskan untuk saya sebuah surat yang begitu cemerlang.

Surat dua halaman tersebut dituliskan dalam bahasa Vietnam dan dibubuhi dengan sebuah cap resmi pada bagian bawah kedua halaman. Saya ingin mencium nya. Dia tampak jelas tidak ingin mencium saya. Saya pun kembali sekali lagi ke gedung imigrasi militer.

“Jam berapa jadwal kereta anda besok,” petugas imigrasi militer yang sama bertanya kepada saya setelah membaca surat tersebut. “Tengah hari,” jawab saya, “tetapi saya perlu membeli tiket saya satu jam sebelumnya karena itu merupakan perjalan internasional.”

“Datang kemari besok pada pukul 11.” Itu, tentunya, membuat tidak mungkin untuk saya naik kereta tepat waktu dan saya mulai memprotes namun tatapan petugas tersebut membungkam saya. Saya pun kembali ke tempat itu keesokan harinya, namun pada pukul sembilan, dan saya duduk diam di bangku kayu sambil menunggu. Pada pukul 10:45, dia memanggil saya ke bilik nya dan, tanpa berbicara, dia memberikan paspor saya. Saya tidak memeriksanya sama sekali dan langsung meninggalkan tempat tersebut untuk segera pergi ke stasiun kereta. Pada pukul 11, saya akhirnya telah memegang sebuah tiket untuk jadwal Reunifikasi Ekspres hari itu.

Perjalanan melewati pegunungan di Vietnam bagian utara begitu agung. Kereta tersebut sampai di perbatasan pada pukul tiga pagi dan, Vietnam tetap Vietnam, seluruh penumpang diminta turun untuk berjalan melewati imigrasi. Petugas disana membuka paspor saya dan berhenti pada sebuah halaman. Sebelum dia dapat bertanya, saya berkata, “bukan, saya bukan pelaut.”

Petugas tersebut melihat kepada saya, kemudian kembali melihat paspor saya dan sekali lagi melihat kepada saya. Dan akhirnya dia mengijinkan saya masuk ke dataran Tiongkok.

Dengan Wallach, ini tidak akan terjadi.

Wallach and Company. Menyediakan Asuransi untuk Pelancong Mancanegara selama lebih dari 30 tahun

Wallach International menawarkan asuransi jangan pendek atau jangka panjang terkait masalah medis, evakuasi medis dan bantuan internasional. Pilih rencana asuransi kesehatan Wallach disini.